Deskripsi/Sinopsis :
Dalam dua dekade terakhir ini di Indonesia muncul tokoh-tokoh nasional baru sebagai akibat hadirnya era reformasi. Tokoh-tokoh baru tersebut lebih banyak berkaitan dengan politik dan kekuasaan. Di berbagai daerah muncul banyak pejabat publik, baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Para pejabat itu hadir dari kalangan politikus, kalangan pengusaha, kalangan profesional, kalangan akademisi, juga kalangan artis. Hal itu dimungkinkan setelah lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama Pasal 24 ayat (5) yang menyebutkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Dalam kondisi seperti itu, siapa pun yang dikenal luas dan dianggap mampu dapat dipilih oleh rakyat di daerah yang bersangkutan untuk menjadi kepala daerah.
Pemimpin adalah suatu pribadi yang mempunyai pengaruh. Kemampuan menggerakkan birokrasi dan masyarakat merupakan wujud dari pengaruh itu. Secara prinsip, pengaruh merupakan esensi dari politik. Namun, pemimpin yang menyandarkan pada kekuatan politik semata dinilai sudah tidak relevan lagi saat ini. Dari cara pandang seperti itulah pemimpin seperti Ridwan Kamil mencoba keluar dari model kerangka yang jumud (berjarak) dengan menerapkan konsep “kepemimpinan yang menggerakkan”.
Dikatakan bahwa kepemimpinan ini didasari atas kenyataan bahwa urusan dan persoalan sebesar Indonesia tidak dapat diselesaikan oleh satu orang. Maka, seorang pemimpin harus mampu memunculkan kepemimpinan yang mengajak seluruh orang untuk turun tangan melunasi janji-janji kemerdekaan Indonesia.
Dari penjelasan di atas, secara sederhana, pemimpin model seperti ini diasum-sikan memiliki kedekatan dengan masyarakatnya, serta mampu mendorong para birokrat untuk berinovasi dalam menerapkan kebijakan guna memenuhi janji-janji kemerdekaan.
Dengan demikian, hakikat kepemimpinan dapat dipahami sebagai sesuatu yang digunakan untuk memengaruhi khalayak dan mencapai tujuan yang dicitakan. Pada titik inilah pemimpin lokal menjadi sangat penting karena di tangan pemimpin lokallah kuasa dan arah kebijakan suatu daerah ditentukan. Seiring dengan itu, langkah untuk mencapai tujuan pembangun daerah dengan melibatkan partisipasi dari masyarakat menjadikan pemimpin lokal mempunyai mitra yang potensial, sekaligus sebagai penasihat dan pengritiknya. Hal ini yang kemudian menjadi nilai positif dan perhatian bagi kita dalam memandang masa depan bangsa yang dimulai dari kepemimpinan lokal.
Dalam proses menjadi “pemimpin pembaharu” tersebut, berbagai macam strategi dapat dilakukan, termasuk penggunaan bahasa dalam pertarungan wacana guna menggerakkan setiap elemen (birokrat dan masyarakat) untuk bersama-sama terlibat dalam pembangunan dan penyelesaian permasalahan yang ada. Penggunaan bahasa dalam konteks seperti ini kemudian disebut sebagai bahasa kekuasaan.
Era kepemimpinan Ridwan Kamil sebagai Wali Kota Bandung bersamaan dengan maraknya pemakaian gawai (gadget) dengan dilengkapi aplikasi berbagai media sosial. Facebook, Twitter, dan Instagram sebagai media sosial yang populer dan digunakan secara masif oleh masyarakat dimanfaatkan benar oleh Ridwan Kamil untuk menyampaikan program-program kerja dan capaian-capaiannya.
Tulisan ini mengkaji bahasa dan kekuasaan, khususnya yang berkenaan dengan penggunaan bahasa oleh Ridwan Kamil selama menjadi tokoh publik di Jawa Barat. Lebih jauh, fenomena mediakrasi di Indonesia juga menjadi bahasa lanjutan untuk memperjelas topik seputar bahasa dan kekuasaan







Ulasan
Belum ada ulasan.